
Dengan bermodal alasan
tafarrudnya Zahdam Al-Jarmiy maka diapun berani melemahkan hadist tersebut.
Benarkah hadist itu lemah
lantaran tafarrudnya Zahdam Al-Jarmiy??
Bagaimana pandangan ulama Ahli
Hadsit dalam tafarrudnya seorang rawi??
Maka silahkan menyimak ulasan
berikut
TEKS HADIST
عن زهدم الجرمي عن أبي موسى - يعني الأشعري - رضي الله عنه
قال : رأيت النبي صلى الله عليه و سلم
يأكل دجاجا
Dari Zahdam Al-Jarmiy dari Abu
Musa Al-Asy’ari telah berkata: “aku melihat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam
memakan ayam”.
TAKHRIJ HADIST
SHAHIH, Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 5198, Muslim dalam Shahihnya no.4355,4357,Ahmad
dalam Musnadnya 4/394, 4/401, 4/406,At-Tirmidzi no.1826,Ad-Darimi
no.2055,2056,An-Nasa’i dalam Sunan Kubro no. 4859, Baihaqi dalam Sunan Kubro’
9/322,Ibnu Hibban dalam Shahihnya12/26, 12/60, Abu ‘Awanah dalam Musnadnya
4/32, At-Tabhrani dalam Mu’jamul Wasith 1/201 dan dalam Mu’jam As-Saghir 1/106
no.150,Ibnu Jaarud dalam Muntaqo’nya 1/224, Al-Bazzar dalam musnadnya 1/406,
Al-Humaidi dalam Musnadnya 2/337,Abdurozzaq dalam Mushannafnya 8/495
Hadist diatas sebagaiman telah
saya takhrij adalah hadist yang shahih.
Bagaimana tidak shahih, sedangkan
hadist tersebut telah terdapat dalam kitab shahih bukhari dan muslim yang para
ulama dan ummat islam telah bersepakat untuk menerimanya.
Berikut Nukilan dari beberapa
ulama tentang Ijma’nya kaum Muslimin untuk menerima Hadist yang terdapat dalam
Bukhari dan Muslim
Imam An-Nawawi berkata:
اتفق العلماء -رحمهم الله- على أنّ أصح الكتب بعد القرآن”الصحيحان”
البخاري ومسلم،وتلقتهما الأمة بالقبول
“ Para Ulama –semoga Allah merahmati mereka- telah sepakat
menyatakan bahwa kitab yang paling Shahih setelah al-Qur’an adalah
ash-Shahihain; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Umat telah menerima keduanya
dengan baik. ” (Muqaddimah Syarh Shahih Muslim)
Berkata Imam Al-’Aini:
اتفق علماء الشرق والغرب، على أنه ليس بعد كتاب الله تعالى أصح من صحيحي البخاري ومسلم
“Para ulama di timur dan di barat telah sepakat bahwa tidak ada setelah
Al-Quran kitab yang lebih sahih dari pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. ”
(Umdatul Qari 1/5)
Imam Ibnu Ash-Sholah berkata:
جميع ما حكم مسلم بصحته من هذا الكتاب فهو مقطوع بصحته، والعلم النظري حاصل بصحته في نفس الأمر، وهكذا ما حكم البخاري بصحته في كتابه؛ وذلك لأن الأمة تلقت ذلك بالقبول سوى من لا يُعتد بخلافه
“Semua yang dihukumi sahih menurut Imam Muslim dalam kitab ini
(Shahih Muslim), maka itu bisa dipastikan sahih. Ilmu
an-nazhari terwujud dengan kesahihannya seketika. Demikian pula apa
yang dihukumi sahih oleh Imam Bukharia dalam kitabnya (Shahih Bukhari). Yang
demikian itu, karena umat telah sepakat untuk menerimanya kecuali orang
yang penyelisihannya tidak diakui. ” (Shiyanatu Shahih Muslim
hal 85-86)
Berkata Imam Ad-Dahlawi:
أما الصحيحان:
فقد اتفق المحدثون على أن جميع ما فيهما من المتصل المرفوع صحيح بالقطع، وأنهما متواتران إلى مصنفيهما، وأن كل من يهون أمرهما فهو مبتدع غير سبيل المؤمنين
“Adapun Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, maka para ahli hadits
telah sepakat bahwa seluruh sanad bersambung marfu’ yang ada di keduanya adalah
pasti sahih. Dan kedua kitab itu diriwayatkan secara mutawatir sampai kepada
penulisnya. Dan (para ulama juga sepakat) bahwa siapa yang meremehkan
keduanya, maka ia ahli bidah tidak mengikuti jalan kaum mukminin.
” (Hujatullah Al-Balighah 1/232)
Berkata imam Asy-Syaukani:
واعلم أن ما كان من الأحاديث في الصحيحين أو أحدهما جاز الاحتجاج به من دون بحث لأنهما التزما الصحة وتلقت ما فيهما الأمة بالقبول
“Ketahuilah bahwa seluruh hadits yang ada dalam shahih Bukhari dan
Shahih Muslim atau salah satunya, boleh digunakan untuk berhujjah tanpa perlu
diteliti. Sebab, keduanya telah mengharuskan hanya meriwayatkan hadits sahih.
Dan umat pun telah menerima keduanya dengan baik. ” (Nailul Author 1/22)
HUKUM TAFARRUDNYA SEORANG
RAWI
Pak kyiai Mahrus Ali berdalil dalam melemahkan hadist ini dengan
tafarrdunya Zahdam Al-jarmy, kemudian beliaupun beliau pun membawakan perkataan
DR Abu Lubabah At thahir Shalih Husain yang Aslinya itu terdapat pada kitab
Muqaddimah Ibnu Shalah 1/80
Berkata Ibnu Shalah dalam kitabnya Muqaddimah ulumul hadist:
وَإِطْلَاقُ الْحُكْمِ عَلَى التَّفَرُّدِ بِالرَّدِّ أَوِ النَّكَارَةِ أَوِ
الشُّذُوذِ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Mengghukumi perawi yang secara sendirian meriwayatkan tertolak ,
dikatakan mungkar , syadz memang ada dlm perkataan kebanyakan ahli hadis”
Akan tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi
Thabaqoh yang berada di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah
kibar At-Tabi’in dan para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak
membahayakan
Berkata Syeih Mahir Yasiin Al-Fahl dalam kitabnya atsar iktlaful
mutun wal asaniid fii ikhtilaaf Al-fuqohaa 1/130
تفرد في الطبقات المتقدمة :كطبقة الصَّحَابَة ، وطبقة كبار التَّابِعِيْنَ ، وهذا
التفرد مقبول إذا كَانَ راويه ثقة
“Tafarrud
pada thobaqoh muqoddimah, seperti thobaqoh shahabat dan thobaqoh kibaarut
taabiin, maka tafarrud ini di terima tetkala rawinya tsiqqoh.”
Bahkan Ibnu Shalah yang berkata seperti itu sendiri tidak menolak
tafarrudnya seorang rawi secara mutlak melainkan terdapat perinciannya
Beliau berkata:
“Apabila seorang rawi bersendirian di
dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1. Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh
dan dhabit-nya,
maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).
2. Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya,
dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak
diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang
bersendirian ini :
1. Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit
sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya
sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
2. Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan
bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya
dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi
yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan
dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits
dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat
rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri
ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.”
Lalu
bagaimana sebenarnya status tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut??
Ketahuilah
bahwa tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut sama sekali tidak membahayakan hadist
Abu Musa diatas dengan alasan:
1.
Bahwa Zahdam
Al-Jarmy bukanlah bukan termasuk Shigor tabi’in karena beliau banyak
meriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya, Abu Musa al-Asy’ary, Ibnu Abbas
,Imrob bin Husain dan lain-lain
2.
Zahdam
Al-Jarmy adalah seorang rawi yang tsiqot, dan perawi yang dipakai oleh Bukhari
dan Muslim,
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar:
إن تفرد الثقة المتقن يعد صحيحاً غريباً ، وإن تفرد الصدوق ومن
دونه يعد منكراً
“ Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh Dan Mutqin
bersendirian dalam meriwayatkan hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib,
Dan apabila seorang rawi yang statusnya Shodduq maka hadistnya di nilai
Munkar.” Lihat Miznul I’tidal 3/144
3. dalam riwayat Zahdam
Al-Jarmy tidak ada satupun riwayat yang menyelisihinya
Lalu
bagaimana dengan hadist Ibnu ‘Abbas ???
Hadist Abu
Musa ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas yang di
bawakan pak kyiai dalam mengharamkan ayam, karena memang MIKHLAB yang
di maksud Ibnu Abbas itu bukanlah ayam?
Dan tidak
ada seoarang ulamapun yang mentafsirkan mikhlab pada hadist itu dengan ayam
kecuali seorang ulama nyeleneh dari indonesia yang bernama Al-‘Allamah
Al-Muhaddits Mahrus Ali.
Jadi mana
mungkin bisa di pertentangkan antara kedua hadist itu.????
Dan
kesimpulan dari pembahasan kita ini bahwa hadist Abu Musa Al-Jarmiy ini adalah SHAHIH dari tinjauan ilmu hadist dan
musthalah, dan tidak ada seorang maklukpun di kolong langit ini yang
melemahkannya melainkan seorang ahli yang merasa dirinya telah menjadi
muhaddist yang bernama Al-‘Allamah
Al-Muhaddist Mahrus Ali.
Ditulis
oleh
Agus
Susanto Bin Sanusi
Di Madinah
Nabawiyah 7 Muharram 1436 H
0 komentar:
Posting Komentar