Searching...
Kamis, 25 Desember 2014

MEMBELA HADIST ZAHDAM AL-JARMIY



Termasuk kejahatan yang dilakukan oleh Kyiai Mahrus Ali adalah melemahkan hadist Abu Musa dari jalan Zahdam Al-jarmy secara serampangan dengan kaidah yang aut-autan lagi asal-asalan, meskipun hasdist tersebut telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sekalipun.
Dengan bermodal alasan tafarrudnya Zahdam Al-Jarmiy maka diapun berani melemahkan hadist tersebut.
Benarkah hadist itu lemah lantaran tafarrudnya Zahdam Al-Jarmiy??
Bagaimana pandangan ulama Ahli Hadsit dalam tafarrudnya seorang rawi??


Maka silahkan menyimak ulasan berikut

TEKS HADIST

عن زهدم الجرمي عن أبي موسى - يعني الأشعري - رضي الله عنه قال  : رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يأكل دجاجا
Dari Zahdam Al-Jarmiy dari Abu Musa Al-Asy’ari telah berkata: “aku melihat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam memakan ayam”.

TAKHRIJ HADIST

SHAHIH, Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 5198, Muslim dalam Shahihnya no.4355,4357,Ahmad dalam Musnadnya 4/394, 4/401, 4/406,At-Tirmidzi no.1826,Ad-Darimi no.2055,2056,An-Nasa’i dalam Sunan Kubro no. 4859, Baihaqi dalam Sunan Kubro’ 9/322,Ibnu Hibban dalam Shahihnya12/26, 12/60, Abu ‘Awanah dalam Musnadnya 4/32, At-Tabhrani dalam Mu’jamul Wasith 1/201 dan dalam Mu’jam As-Saghir 1/106 no.150,Ibnu Jaarud dalam Muntaqo’nya 1/224, Al-Bazzar dalam musnadnya 1/406, Al-Humaidi dalam Musnadnya 2/337,Abdurozzaq dalam Mushannafnya 8/495

Hadist diatas sebagaiman telah saya takhrij adalah hadist yang shahih.
Bagaimana tidak shahih, sedangkan hadist tersebut telah terdapat dalam kitab shahih bukhari dan muslim yang para ulama dan ummat islam telah bersepakat untuk menerimanya.
Berikut Nukilan dari beberapa ulama tentang Ijma’nya kaum Muslimin untuk menerima Hadist yang terdapat dalam Bukhari dan Muslim

Imam An-Nawawi berkata:
اتفق العلماء -رحمهم الله- على أنّ أصح الكتب بعد القرآنالصحيحانالبخاري ومسلم،وتلقتهما الأمة بالقبول
“ Para Ulama –semoga Allah merahmati mereka- telah sepakat menyatakan bahwa kitab yang paling Shahih setelah al-Qur’an adalah ash-Shahihain; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Umat telah menerima keduanya dengan baik. ” (Muqaddimah Syarh Shahih Muslim)

Berkata Imam Al-’Aini:
اتفق علماء الشرق والغرب، على أنه ليس بعد كتاب الله تعالى أصح من صحيحي البخاري ومسلم
“Para ulama di timur dan di barat telah sepakat bahwa tidak ada setelah Al-Quran kitab yang lebih sahih dari pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. ” (Umdatul Qari 1/5)

Imam Ibnu Ash-Sholah berkata:
جميع ما حكم مسلم بصحته من هذا الكتاب فهو مقطوع بصحته، والعلم النظري حاصل بصحته في نفس الأمر، وهكذا ما حكم البخاري بصحته في كتابه؛ وذلك لأن الأمة تلقت ذلك بالقبول سوى من لا يُعتد بخلافه
“Semua yang dihukumi sahih menurut Imam Muslim dalam kitab ini (Shahih Muslim), maka itu bisa dipastikan sahih. Ilmu an-nazhari terwujud dengan kesahihannya seketika. Demikian pula apa yang dihukumi sahih oleh Imam Bukharia dalam kitabnya (Shahih Bukhari). Yang demikian itu, karena umat telah sepakat untuk menerimanya kecuali orang yang penyelisihannya tidak diakui. ” (Shiyanatu Shahih Muslim hal 85-86)
Berkata Imam Ad-Dahlawi:
أما الصحيحان: فقد اتفق المحدثون على أن جميع ما فيهما من المتصل المرفوع صحيح بالقطع، وأنهما متواتران إلى مصنفيهما، وأن كل من يهون أمرهما فهو مبتدع غير سبيل المؤمنين
“Adapun Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, maka para ahli hadits telah sepakat bahwa seluruh sanad bersambung marfu’ yang ada di keduanya adalah pasti sahih. Dan kedua kitab itu diriwayatkan secara mutawatir sampai kepada penulisnya. Dan (para ulama juga sepakat) bahwa siapa yang meremehkan keduanya, maka ia ahli bidah tidak mengikuti jalan kaum mukminin. ” (Hujatullah Al-Balighah 1/232)
Berkata imam Asy-Syaukani:
واعلم أن ما كان من الأحاديث في الصحيحين أو أحدهما جاز الاحتجاج به من دون بحث لأنهما التزما الصحة وتلقت ما فيهما الأمة بالقبول
“Ketahuilah bahwa seluruh hadits yang ada dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim atau salah satunya, boleh digunakan untuk berhujjah tanpa perlu diteliti. Sebab, keduanya telah mengharuskan hanya meriwayatkan hadits sahih. Dan umat pun telah menerima keduanya dengan baik. ” (Nailul Author 1/22)
HUKUM  TAFARRUDNYA SEORANG RAWI
Pak kyiai Mahrus Ali berdalil dalam melemahkan hadist ini dengan tafarrdunya Zahdam Al-jarmy, kemudian beliaupun beliau pun membawakan perkataan DR Abu Lubabah At thahir Shalih Husain yang Aslinya itu terdapat pada kitab Muqaddimah Ibnu Shalah 1/80
Berkata Ibnu Shalah dalam kitabnya Muqaddimah ulumul hadist:
وَإِطْلَاقُ الْحُكْمِ عَلَى التَّفَرُّدِ بِالرَّدِّ أَوِ النَّكَارَةِ أَوِ الشُّذُوذِ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Mengghukumi perawi yang secara sendirian meriwayatkan tertolak , dikatakan mungkar , syadz memang ada dlm perkataan kebanyakan ahli hadis”
Akan tetapi perkataan Ibnu Shalah tersebut hanya berlaku bagi Thabaqoh yang berada di Shigar tabi’iin dan orang-orang, adapun untuk Thabaqah kibar At-Tabi’in dan para sahabat maka tafaarud nya mereka sama sekali tidak membahayakan
Berkata Syeih Mahir Yasiin Al-Fahl dalam kitabnya atsar iktlaful mutun wal asaniid fii ikhtilaaf Al-fuqohaa 1/130
تفرد في الطبقات المتقدمة :كطبقة الصَّحَابَة ، وطبقة كبار التَّابِعِيْنَ ، وهذا التفرد مقبول إذا كَانَ راويه ثقة
“Tafarrud pada thobaqoh muqoddimah, seperti thobaqoh shahabat dan thobaqoh kibaarut taabiin, maka tafarrud ini di terima tetkala rawinya tsiqqoh.”
Bahkan Ibnu Shalah yang berkata seperti itu sendiri tidak menolak tafarrudnya seorang rawi secara mutlak melainkan terdapat perinciannya
Beliau berkata:
“Apabila seorang rawi bersendirian di dalam periwayatannya, maka dilihat keadaannya :
1.       Apabila kesendiriannya menyelisihi hadits yang lebih tinggi hifzh dan dhabit-nya, maka hadits yang bersendirian ini dianggap syadz dan mardud (tertolak).
2.       Apabila tidak menyelisihi apa yang diriwayatkannya dan selainnya, dan hanya saja hadits itu adalah yang diriwayatkan perawi namun tidak diriwayatkan oleh rawi lainnya, maka perlu dilihat keadaan rawi yang bersendirian ini :
1.       Apabila ia perawi yang adil, hafizh, tsiqoh mantap dan dhabit sebelum riwayatnya bersendirian, maka tidaklah tercela kesendiriannya sebagaimana hadits : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
2.       Apabila ia bukan orang yang kuat dan mantap hafalannya dikarenakan bersendiriannya, maka kesendirian periwayatannya akan menggiring jauh haditsnya dari lingkaran shahih, dan keadaan ini memiliki beberapa tingkatan :
Tingkatan Pertama : apabila rawi yang bersendirian tidak jauh dari tingkatan hafizh dhabith, maka diterima kesendiriannya dan dianggap hasan haditsnya, dan tidak kita turunkan tingkatannya menjadi hadits dhaif.
Tingkatan kedua : Apabila riwayat rawi yang bersendirian jauh dari tingkatan hafizh dhabith maka kita tolak riwayat yang bersendiri ini, dan dianggap sebagai hadits yang syadz munkar.”
Lalu bagaimana sebenarnya status tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut??
Ketahuilah bahwa tafrrudnya Zahdam Al-Jarmy tersebut sama sekali tidak membahayakan hadist Abu Musa diatas dengan alasan:
1.       Bahwa Zahdam Al-Jarmy bukanlah bukan termasuk Shigor tabi’in karena beliau banyak meriwayatkan dari beberapa sahabat diantaranya, Abu Musa al-Asy’ary, Ibnu Abbas ,Imrob bin Husain dan lain-lain
2.       Zahdam Al-Jarmy adalah seorang rawi yang tsiqot, dan perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim,
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar:
   إن تفرد الثقة المتقن يعد صحيحاً غريباً ، وإن تفرد الصدوق ومن دونه يعد منكراً
“ Apabila Seorang rawi yang Tsiqoh Dan Mutqin bersendirian dalam meriwayatkan hadist maka hadistnya dinilai Shahih Gharib, Dan apabila seorang rawi yang statusnya Shodduq maka hadistnya di nilai Munkar.” Lihat Miznul I’tidal 3/144
                 3. dalam riwayat Zahdam Al-Jarmy tidak ada satupun riwayat yang menyelisihinya

Lalu bagaimana dengan  hadist Ibnu ‘Abbas ???

Hadist Abu Musa ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadist Ibnu Abbas yang di bawakan pak kyiai dalam mengharamkan ayam, karena memang MIKHLAB yang di maksud Ibnu Abbas itu bukanlah ayam?

Dan tidak ada seoarang ulamapun yang mentafsirkan mikhlab pada hadist itu dengan ayam kecuali seorang ulama nyeleneh dari indonesia yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddits Mahrus Ali.

Jadi mana mungkin bisa di pertentangkan antara kedua hadist itu.????

Dan kesimpulan dari pembahasan kita ini bahwa hadist Abu Musa Al-Jarmiy ini  adalah SHAHIH dari tinjauan ilmu hadist dan musthalah, dan tidak ada seorang maklukpun di kolong langit ini yang melemahkannya melainkan seorang ahli yang merasa dirinya telah menjadi muhaddist  yang bernama Al-‘Allamah Al-Muhaddist Mahrus Ali.


Ditulis oleh 


Agus Susanto Bin Sanusi
Di Madinah Nabawiyah 7 Muharram 1436 H


0 komentar:

Posting Komentar